Perkawinan Bugis Sinjai: Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
Perkawinan Bugis Sinjai adalah salah satu contoh nyata akulturasi yang indah antara ajaran Islam dan kekayaan budaya lokal. Tradisi pernikahan di daerah ini bukan hanya serangkaian upacara adat, melainkan perpaduan harmonis antara nilai-nilai syariat dan kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Prosesi pernikahan ini merefleksikan identitas masyarakat Bugis Sinjai yang religius dan menjunjung tinggi adat istiadat.
Sebelum Islam datang, masyarakat Bugis telah memiliki sistem adat pernikahan yang kuat. Namun, seiring dengan masuknya Islam, ajaran-ajaran agama ini tidak serta-merta menggusur tradisi. Sebaliknya, terjadi proses adaptasi dan integrasi, di mana unsur-unsur Islam seperti akad nikah dan mahar (sompa) menjadi bagian tak terpisahkan dari perkawinan Bugis Sinjai.
Salah satu wujud akulturasi adalah dalam prosesi lamaran. Meski tetap menggunakan tradisi mammanu’-manu’ (penjajakan) dan madduta massuro (lamaran resmi) yang sarat simbol, diskusi mengenai mahar dan kesepakatan nikah kini selalu merujuk pada ketentuan syariat. Mahar atau sompa adalah kewajiban dalam Islam, yang diperkuat dalam adat.
Tradisi uang panaik atau duit menre’ adalah salah satu ciri khas perkawinan Bugis Sinjai yang seringkali menimbulkan perdebatan. Meskipun bukan bagian dari syariat Islam secara eksplisit, praktik ini telah diterima sebagai bentuk penghargaan dan kesungguhan pihak laki-laki terhadap calon mempelai wanita, serta untuk membiayai pesta pernikahan.
Prosesi Mappacci (pembersihan diri) sebelum akad nikah juga menunjukkan perpaduan ini. Upacara adat ini, yang melibatkan penggunaan daun pacar, kini sering diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an (khataman Al-Qur’an) dan Barzanji. Ini adalah upaya untuk membersihkan diri secara lahir dan batin, sesuai ajaran Islam.
Puncak dari perkawinan Bugis Sinjai adalah ijab kabul, yang merupakan rukun nikah dalam Islam. Pelaksanaannya di hadapan penghulu atau imam menjadi sahnya pernikahan menurut syariat. Setelah ijab kabul, tradisi adat seperti tudang botting (duduk di pelaminan) atau mappasikarawa (sentuhan pertama) tetap dilanjutkan.
Selain itu, konsep siri’ na pacce (harga diri dan rasa kasih sayang) yang kuat dalam budaya Bugis turut memperkaya makna pernikahan. Perkawinan Bugis Sinjai dipandang sebagai penyatuan dua keluarga besar, yang harus dijaga kehormatannya dan dilandasi kasih sayang, sejalan dengan tujuan pernikahan dalam Islam.